Berpecah Karena Pilkada

Lebih dari 50 ribu muslim Palestina dibunuh zionis Israel. Sementara di sini, negara dengan penduduk Muslim terbesar kedua di dunia, setelah Pakistan, sibuk bergelut dengan sesama demi membela pilihan Pilkada. Politik memang tidak jahat, tetapi tidak sedikit orang jahat yang bermain politik. Akibatnya orang awam yang baik-baik ikut melakukan ‘kejahatan’ tanpa mereka sadari.

 

Pengajian di PRM Nitikan, dihadiri para Calon Walikota Yogyakarta
(Foto: Grup WA)


Mulai dari memfitnah lawah politik dengan kampanye hitam, melakukan money politik, suap, menyebarkan kebohongan dan banyak lagi. Semua menjadi terasa biasa ketika seseorang sudah terjebak dalam dukung mendukung pilihan politik.Tidak jarang, teman satu perjuangan, saudara satu persyarikatan akhirnya saling bermusuhan. Menyimpan dendam. Enggan bertegur sapa. Tahun menahun sampai Pilkada berikutnya.

 

Kemudahan dalam berinteraksi melalui media sosial, terutama WhatsApp telah membuka jalan bagi masing-masing pendukung untuk mengekspresikan pilihan politiknya. Mereka tidak hanya menyanjung calon junjungannya, tetapi yang parah adalah mencela siapa saja yang dianggap lawan politik. Ketidakdewasaan ini menimbulkan efek negatif dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Sebagian orang kemudian memilih keluar dari grup WhatsApp, atau tidak menghadiri rapat, pengajian atau pertemuan rutin karena tidak mau bertemu dengan lawan politik. Padahal calon-calon yang mereka dukung ketika berhasil kelak belum tentu ingat dengan dukungan dan pengorbanan para pendukungnya.

 

Kedewasaan dalam perbedaan pilihan politik sangat penting. Persatuan dan kesatuan umat harus di atas semua itu. Karena sesunggungya perbedaan menjadi hal yang lumrah, jangankan hanya soal pilihan politik, bahkan Allah SWT. memberikan ruang dalam perbedaan agama.

 

“Dan jika Allah menghendaki, tentulah Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembali kamu semuanya, maka Dia memberitahukan kepadamu apa yang kamu berselisih padanya.” (QS. Al-Maidah: 48)

 

Jika ruang perbedaan memang menjadi sunnatullah, mengapa kita harus memaksakan untuk meniadakan? Memaksa orang lain untuk sama, satu pilihan politik. Padahal tidak ada jaminan orang yang kita bela mati-matian merupakan sosok terbaik. Berapa banyak Kepala Daerah yang setelah terpilih justru lebih mementingkan urusan pribadi, golongan dan partai. Karena hanya sebagai petugas partai, bukan pelayan masyarakat.

 

Pilkada tidak lepas dari ambisi. Bisa kita saksikan Walikota/Bupati dan Wakil Walikota/Wakil Bupati hanya kompak ketika kampanyae sebelum terpilih. Setelah terpilih mereka seperti bersaing dan mencari panggung masing-masing. Tidak perlu menunggu hitungan bulan, mereka sudah bersiap untuk bersaing di Pilkada berikutnya. Maka tidak heran dalam Pilkada yang akan datang mereka pecah kongsi, sama-sama ingin menjadi Kepala Daerah.

 

Hanya dengan modal jarene (katanya) orang mudah menyebarkan berita yang belum tentu terjamin kebenarannya. Menyebarkan melalui grup-grup WhatsApp dengan tujuan meraih simpati dan berharap anggota grup memilih calon yang dia dukung. Terkadang informasi yang dibagikan tidak hanya berisi kebohongan tetapi juga penghinaan kepada calon kepala daerah lainnya.

Allah SWT telah memperingatkan, “Dan janganlah sebagian kamu mengumpat sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

 

Tidak ada alasan untuk saling mencaci atau membenci. Setiap orang berhak menentukan pilihan masing-masing tanpa paksaan. Jika sebagai Muslim, maka ada parameter yang bisa dijadikan acuan dalam menentukan pilihan. Pemimpin harus memiliki akhlak yang baik, memiliki kompetensi dan mencintai masyarakat.

 

“Rasulullah Saw telah bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, mereka yang mendoakanmu dan kamu doakan mereka. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya dengan pedang?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Jika kalian melihat dari penguasa-penguasamu kejelekan yang kamu benci, maka bencilah perbuatan jeleknya itu saja dan jangan sekali-kali membangkang terhadapnya.”

 

Dalam Islam, menjadi pemimpin merupakan amanah. Maka tidak elok jika berkeinginan menjadi penguasa karena landasan ambisi. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW. berpesan, "Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin, karena jika kamu diberi amanah tanpa kamu meminta, kamu akan dibantu oleh Allah. Tetapi jika kamu memintanya, kamu akan ditinggalkan sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Islam mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus dipilih berdasarkan kemampuan, integritas, dan keadilan. Pemimpin yang baik dalam Islam adalah orang yang memiliki kapasitas untuk memimpin dengan adil dan bijaksana. Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW banyak yang menjelaskan tentang kriteria pemimpin yang ideal, seperti adil, bijaksana, dan mampu memikul amanah. Rasulullah bersabda, artinya, "Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari)

 

Oleh karena itu, dalam konteks Pilkada, masyarakat perlu memilih pemimpin yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang baik untuk memimpin daerah tersebut. Pendidikan, pengalaman, dan integritas moral calon pemimpin menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan.

Pemimpin dalam Islam bertugas untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kebaikan bersama. Dalam konteks Pilkada, ini berarti bahwa pemimpin yang terpilih harus bekerja untuk kesejahteraan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pemilihan kepala daerah melalui Pilkada dapat menjadi cara untuk memastikan bahwa pemimpin daerah memiliki visi dan komitmen untuk memajukan daerahnya secara adil dan bijaksana. "Pemimpin kalian adalah pelayan bagi kalian." (HR. Bukhari)

Ini menegaskan bahwa pemimpin yang baik adalah pelayan rakyatnya, yang bekerja untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Islam mengajarkan pentingnya persatuan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Pemimpin yang terpilih melalui Pilkada diharapkan dapat memperkuat persatuan umat dan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pemilihan pemimpin harus mengutamakan orang yang mampu menjaga keharmonisan sosial dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya kelompok tertentu.

 

Menjadi Pemilih Bertanggungjawab

Sebagai pemilih, masyarakat tidak hanya harus cermat ketika menentukan pilihan. Tetapi juga masih memiliki tanggungjawab dengan apa yang menjadi pilihan. Artinya ketika calon yang mereka dukung dan perjuangkan akhirnya menang. Para pemilih punya kewajiban mengawasi.

Islam mengajarkan agar umat Islam tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga mengawasi pemimpin yang terpilih agar mereka tetap menjalankan tugasnya dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Pengawasan terhadap pemimpin adalah bagian dari tanggung jawab umat untuk memastikan bahwa pemimpin tidak menyalahgunakan kekuasaannya.

"Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sehingga tidak boleh para pendukung calon di kemudian hari berlepas diri ketika calon yang mereka dukung berkuasa dan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki. Para pendukung wajib untuk mencegah atau mengingatkan dengan kemampuan masing-masing.

 

Meskipun Islam tidak memiliki sistem Pilkada dalam konteks sejarahnya, prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam dapat diterapkan dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) di negara-negara modern. Islam mengajarkan bahwa pemimpin harus dipilih berdasarkan kemampuan, keadilan, dan kejujuran, serta dengan proses yang melibatkan musyawarah dan konsultasi (syura). Pemilihan pemimpin juga harus mengutamakan persatuan dan kesejahteraan bersama, serta memastikan bahwa pemimpin yang terpilih akan bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan tindakan mereka di hadapan Allah.

 

Kita beharap jika Pilkada dilaksanakan dengan prinsip-prinsip Islam yang baik, bisa menjadi sarana untuk memilih pemimpin yang amanah, adil, dan bijaksana, serta memperjuangkan kepentingan rakyat secara umum. Mampu menghadirkan keadilan, kesejahteraaan dan kemakmuran bagi masyarakat. Bukan sebaliknya, justru menimbulkan kegaduhan dan perpecahan antar elemen masyarakat karena kurangnya kedewasaan dalam berpolitik.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama